Senin, 02 Januari 2012

Swasembada Beras yang Berbahaya


Swasembada beras masih bisa dipertahankan Indonesia, namun bahaya ekonomi  masih mengancam. Indonesia masih bisa swasembada beras. Menurut perhitungan Kementerian Pertanian berdasarkan Angka Ramalan II 2011 Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras tahun ini surplus 4 juta ton lebih. Tetapi harga beras bukannya turun malah naik, kondisi ini disebut mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih sebagai swasembada beras yang membahayakan.

Terlebih lagi impor beras itu terjadi ketika harga pangan dunia mengalami peningkatan.  "Indonesia banyak mengimpor produk pangan utama di tengah peningkatan har­ga komoditas," kata mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Peneliti Agro Ekonomi Indonesia, Faisal Kasryno pada Seminar Ketahanan Pangan PWRI Pertanian dengan tema “Menghadapi Tantangan dan Memanfaatkan Peluang” di Jakarta.
Sebagai perbandingan pada 2008, harga beras Thailand yang menjadi referensi harga internasional mencapai US$ 800 per ton. Pasar menganggap harga ini tertinggi sehingga dunia terancam krisis pangan.  Tahun ini harga beras di tanah air diperkirakan sekitar US$ 1.100 per ton. Faisal memperkirakan harga komoditas pangan dunia, menjelang 2020 naik sekitar 20-30 persen dari harga rata-rata 2002-2004. Padahal impor komoditas pangan, seperti gula, pada 2008 saja sebesar  30 miliar dolar AS.
Menteri Pertanian periode 2000-2004, Bungaran Saragih, mengatakan kini saatnya bangsa ini berpikir untuk bisa mencapai swasembada pangan berkelanjutan, tidak lagi fokus pada swasembada beras. Dia beralasan ongkos peningkatan produksi beras semakin mahal ke depan. (baca juga Interpensi Suplai Semakin Mahal). “Kita harus mengubah arah swasembada dari interpensi suplai ke interpensi deman,” katanya. Dia mendesak negara untuk bisa menurunkan konsumsi beras dari 139 kilogram menjadi minimal 100 ki­logram per kapita per tahun dalam 10 tahun.
Dengan demikian, lanjutnya pemerintah tak perlu membuka area baru un­tuk mencetak sawah baru. Sehingga, area yang ada dimanfaatkan untuk tanaman komoditas lain, seperti jagung, singkong, dan kedelai. Dengan produksi komoditas lain melimpah, maka diversifikasi pa­ngan bakal tercapai.
Ketua Umum BP3 Pertanian/PWRI Pertanian Soedjai Kartasasmita mengatakan seminar ini dilakukan untuk menggugah perhatian pemerintah apakah perlu diambil langkah-langkah. ”Para pensiunan sangat prihatin bila Indonesia mengalami malapetaka sebagai akibat dari berbagai kejadian yang menyangkut iklim, yang kadang-kadang tiba-tiba terjadi malapetaka dan dampaknya itu pada penyediaan pangan,” tambahnya kepada Sinar Tani.

sumber : DPP PPNSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar